Maandag 15 April 2013

Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara 

19 December 2012 - dalam Umum Oleh azro_el-fib11

Islam sebagai agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam perjalanan sejarah Indonesia, bahkan sekarang masih berada dalam posisi yang dominan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Masuk dan dianutnya agama Islam secara luas oleh masyarakat di Nusantara tidak dapat dipahami sebagai sebuah proses yang sederhana dan instan. Terdapat berbagai macam teori-teori maupun hipotesis-hipotesis yang mencoba untuk menjelaskan kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang melakukan usaha-usaha penyebaran Islam itu sendiri. Sehingga untuk dapat memahaminya harus dilakukan dengan melihat dari berbagai macam sudut pandang.
Makalah ini membahas mengenai masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatera. Tanpa mengecilkan signifikansi dari proses Islamisasi di daerah lain di Indonesia, proses Islamisasi di Jawa dan Sumatera mempunyai andil yang besar dalam perkembangan proses Islamisasi selanjutnya. Daerah-daerah di kedua pulau tersebut adalah daerah-daerah yang secara teoretis mempunyai kemungkinan besar mengalami proses Islamisasi lebih dahulu dari daerah-daerah lain di Nusantara.
Sumatera mempunyai posisi yang strategis sebagai pintu masuk kegiatan perdagangan di Nusantara. Sejak masa Sriwijaya Selat Malaka telah menjadi pelabuhan tempat singgah pedagang-pedagang asing dari berbagai negara. Interaksi yang intens dengan pengaruh-pengaruh asing adalah cara yang sangat cepat bagi unsur-unsur asing untuk dapat diserap oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini perdagangan di Selat Malaka dan sekitar Sumatera merupakan salah satu jalan masuk Islam ke Nusantara.
Kemunculan kerajaan-kerajaan awal yang bercorak Islam di Sumatera menjadi bukti bahwa beberapa daerah di Sumatera telah mengalami proses Islamisasi lebih dahulu daripada daerah-daerah lain di Indonesia. Karena dengan berdirinya sebuah institusi politik yang bercorak Islam menandakan bahwa pengaruh Islam telah mengakar dalam segala aspek kehidupan masyarakat disekitarnya.
Berita-berita Cina yang ditulis oleh Chou Ku Fei pada tahun 1178 menyiratkan bahwa baik pada masa ketika Sriwijaya mendominasi perdagangan di Sumatera ataupun ketika pengaruh-pengaruhnya mulai melemah, pulau Jawa tetap menjadi pusat perdagangan dan politik yang mempunyai signifikansi yang sama dengan Sumatera. Lebih-lebih ketika Singasari melakukan ekspansi wilayah dan politiknya ke Sumatera, sehingga dominasi perdagangan di Sumatera tidak lagi dimiliki secara absolut oleh Sriwijaya.
Melemahnya pengaruh Sriwijaya berpengaruh besar pada perubahan yang terjadi di daerah-daerah yang secara letak jauh dari pengawasan pemerintah, terutama pada daerah-daerah di pesisir utara dan timur Sumatera, dimana Islam mulai tumbuh menjadi kekuatan sosial dan politik yang signifikan.
Sementara di Jawa sendiri masuknya Islam juga sangat erat dengan kegiatan perdagangan. Karena itu daerah-daerah yang terletak di sepanjang pesisir utara Jawa mengalami proses Islamisasi terlebih dahulu daripada daerah-daerah di pedalaman. Peninggalan-peninggalan bercorak Islam kebanyakan ditemukan di daerah-daerah pesisir ataupun pusat pelabuhan yang sibuk.
Namun proses Islam sebagai sebuah kekuatan politik tidak lepas dari timbul tenggelamnya Majapahit. Meskipun begitu, dengan mengecilnya Majapahit sebagai sebuah kekuatan dan menguatnya kekuatan daerah-daerah yang bercorak Islam bukan berarti Islam telah menjadi kekuatan sosial-politik yang dominan di Jawa.
Setelah runtuhnya Majapahit, masih terdapat beberapa daerah yang bercorak Hindu-Budha. Bahkan daerah-daerah tersebut masih memiliki pengaruh yang tidak kecil. Namun semakin banyaknya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam membuat daerah-daerah tersebut terisolasi, dalam artian pengaruhnya semakin lama semakin mengecil.
Seperti yang telah disinggung diatas, persebaran agama Islam di Nusantara dapat dianggap sebagai sebuah proses yang panjang, sporadis dan sangat terkait dengan hegemoni dan kekuasaan yang mengelilingi persebaran Islam itu sendiri. Karena itu, pembahasan pada bab selanjutnya akan dibagi menjadi beberapa bagian pembahasan yang saling berkaitan antara satu sama lain.
Yang pertama akan dibahas adalah teori-teori dan hipotesis-hipotesis mengenai masuknya Islam ke Nusantara. Hal ini penting sebagai landasan pemahaman dalam mempelajari proses masuknya Islam. Beragamnya teori-teori dan hipotesis-hipotesis yang telah dikemukakan akan membantu untuk memahami proses yang terjadi secara menyeluruh. Yang kedua adalah perdagangan dan interaksi antara pedagang dan pendatang asing dengan penduduk lokal di Jawa dan Sumatera sebagai proses awal perkenalan dan penerimaan terhadap agama Islam. Yang ketiga adalah Islam sebagai kekuatan sosial dalam kehidupan masyarakat di Jawa dan Sumatera. Seperti yang telah dijelaskan diatas, dianutnya Islam sebagai sebuah sistem politik dan munculnya institusi-institusi politik yang bercorak Islam merupakan hasil dari proses asimilasi dan akulturasi aspek-aspek dalam agama Islam dengan aspek-aspek kemasyarakatan setempat. Termasuk diantaranya aspek sosial-politik. Kemudian yang terakhir adalah munculnya kerajaan-kerajaan Islam awal di Jawa dan Sumatera sebagai penjelasan mengenai hubungan antara institusi-institusi politik dan dianutnya tatanan sosial masyarakat yang bercorak Islam dengan proses penyebaran Islam itu sendiri.
  Peranan Pedagang Asing dalam Penyebaran Islam dan Interaksinya dengan Penduduk Lokal.Menurut laporan Tome Pires dalam Suma Oriental yang ditulis pada abad ke-16, di daerah pesisir barat Sumatera telah banyak berdiri kerajaan Islam dengan lingkup pengaruh dan kekuatan yang beraneka ragam. Jika dirunut kebelakang, hubungan perdagangan antara Sriwijaya dengan pedagang-pedagang dari Arab dan Timur Tengah di Selat Malaka telah terjadi semenjak abad ke-7 dan ke-8. Selain itu, hubungan dagang dengan dinasti T’ang di Cina juga telah terjalin dengan baik. Pada zaman dinasti T’ang sendiri Cina telah mempunyai hubungan dagang dengan dinasti Bani Umayyah di Timur Tengah. Menurut berita Cina, pada abad-abad tersebut di Kanfu (Kanton) dan beberapa daerah di Asia Tenggara pada masa itu telah terdapat pemukiman-pemukiman muslim. Perkawinan antara pedagang-pedagang muslim dengan penduduk setempat pun diperkirakan telah menjadi hal yang umum. Sedangkan D. G. E. Hall berpendapat bahwa hubungan dagang antara Cina dengan dunia Arab telah terjalin bahkan jauh sebelum periode Nabi Muhammad SAW.
Menurut berita Cina yang sama, selain di Kanfu (Kanton) disebutkan pula pemukiman-pemukiman muslim telah bermunculan di sepanjang pesisir Sumatera yang dilalui oleh jalur perdagangan. Ketika Sriwijaya meluaskan daerahnya hingga ke Kedah, pemukiman-pemukiman muslim juga bermunculan disana. Terutama ketika petani-petani muslim dari Cina Selatan yang dipersekusi oleh Kaisar Hi-Tsung kemudian meminta suaka kepada Sriwijaya setelah usaha pemberontakan yang gagal. Pemerintah Sriwijaya menempatkan mereka secara tersebar di Kedah dan Palembang.
Pada abad ke 9 atau 10 terjadi eksodus koloni Arab Alawiyun ke arah timur untuk menghindari pergolakan politik pada masa transisi kekuasaan dari dinasti Abbasiyah. Daerah yang menjadi tempat tujuan mereka adalah Perlak, yang pada masa itu telah menjadi tempat transit yang ramai bagi kegiatan perniagaan. Kaum pendatang ini selain mencari suaka, mereka juga melakukan kegiatan dagang dan penyebaran agama. Pada perkembangannya terjadi amalgamasi antara golongan pendatang ini dengan penduduk lokal, yang pada akhirnya melakukan proses konsolidasi politik terhadap penduduk lokal dan menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Perlak yang bercorak Islam dengan raja pertamanya Sultan Aliuddin Abdul Azis Syah.
Meskipun pada abad-abad tersebut telah terjadi proses Islamisasi di daerah pesisir Sumatera, laporan Marco Polo yang singgah di Aceh Utara pada 1292 menyatakan bahwa di daerah yang disinggahinya tersebut masih terdapat banyak penduduk yang belum memeluk agama Islam, meskipun di sisi lain terjadi proses Islamisasi yang secara intensif dilakukan oleh pedagang-pedagang asing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi yang terjadi masih belum lama dilakukan.
Mundurnya kondisi sosial-politik Sriwijaya pada abad ke-13 membuka peluang besar kepada para penguasa di daerah untuk melepaskan diri dari pengaruh pemerintah pusat. Jabatan-jabatan tinggi di daerah mayoritas dipegang oleh para pedagang yang sekaligus juga sebagai pemilik modal. Sedangkan para pedagang dan pemilik modal ini kebanyakan telah berpindah ke agama Islam. Dipegangnya posisi-posisi strategis di daerah oleh orang-orang muslim pada akhirnya semakin memudahkan proses penyebaran agama Islam. Pola yang serupa juga terjadi di Jawa pada akhir masa kekuasaan Majapahit, meskipun proses Islamisasi di Jawa diperkirakan telah terjadi jauh sebelum itu.
Batu-batu nisan yang ditemukan di Trowulan dan Troloyo dipastikan merupakan makam muslim, meskipun masih bercorak Hindu-Budha. Hal ini menandakan masih kuatnya pengaruh Hindu-Budha. Termasuk makam seorang wanita bernama Maimun yang berangka tahun 475 H/1082 M. Namun M. C. Ricklefs (2001:28) menyangsikan bahwa almarhum yang dikebumikan ini berasal dari masyarakat pribumi. Maka bukti ini masih belum dapat membuktikan bahwa Islam telah menjadi sebuah kekuatan di Jawa.

Daftar Pustaka:
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Mukarrom, Ahwan. Sejarah Islamisasi Nusantara.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking