Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara
Islam
sebagai agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam
perjalanan sejarah Indonesia, bahkan sekarang masih berada dalam posisi
yang dominan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia.
Masuk dan dianutnya agama Islam secara luas oleh masyarakat di Nusantara
tidak dapat dipahami sebagai sebuah proses yang sederhana dan instan.
Terdapat berbagai macam teori-teori maupun hipotesis-hipotesis yang
mencoba untuk menjelaskan kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang
melakukan usaha-usaha penyebaran Islam itu sendiri. Sehingga untuk dapat
memahaminya harus dilakukan dengan melihat dari berbagai macam sudut
pandang.
Makalah
ini membahas mengenai masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa
dan Sumatera. Tanpa mengecilkan signifikansi dari proses Islamisasi di
daerah lain di Indonesia, proses Islamisasi di Jawa dan Sumatera
mempunyai andil yang besar dalam perkembangan proses Islamisasi
selanjutnya. Daerah-daerah di kedua pulau tersebut adalah daerah-daerah
yang secara teoretis mempunyai kemungkinan besar mengalami proses
Islamisasi lebih dahulu dari daerah-daerah lain di Nusantara.
Sumatera
mempunyai posisi yang strategis sebagai pintu masuk kegiatan
perdagangan di Nusantara. Sejak masa Sriwijaya Selat Malaka telah
menjadi pelabuhan tempat singgah pedagang-pedagang asing dari berbagai
negara. Interaksi yang intens dengan pengaruh-pengaruh asing adalah cara
yang sangat cepat bagi unsur-unsur asing untuk dapat diserap oleh
masyarakat lokal. Dalam hal ini perdagangan di Selat Malaka dan sekitar
Sumatera merupakan salah satu jalan masuk Islam ke Nusantara.
Kemunculan
kerajaan-kerajaan awal yang bercorak Islam di Sumatera menjadi bukti
bahwa beberapa daerah di Sumatera telah mengalami proses Islamisasi
lebih dahulu daripada daerah-daerah lain di Indonesia. Karena dengan
berdirinya sebuah institusi politik yang bercorak Islam menandakan bahwa
pengaruh Islam telah mengakar dalam segala aspek kehidupan masyarakat
disekitarnya.
Berita-berita
Cina yang ditulis oleh Chou Ku Fei pada tahun 1178 menyiratkan bahwa
baik pada masa ketika Sriwijaya mendominasi perdagangan di Sumatera
ataupun ketika pengaruh-pengaruhnya mulai melemah, pulau Jawa tetap
menjadi pusat perdagangan dan politik yang mempunyai signifikansi yang
sama dengan Sumatera. Lebih-lebih ketika Singasari melakukan ekspansi
wilayah dan politiknya ke Sumatera, sehingga dominasi perdagangan di
Sumatera tidak lagi dimiliki secara absolut oleh Sriwijaya.
Melemahnya
pengaruh Sriwijaya berpengaruh besar pada perubahan yang terjadi di
daerah-daerah yang secara letak jauh dari pengawasan pemerintah,
terutama pada daerah-daerah di pesisir utara dan timur Sumatera, dimana
Islam mulai tumbuh menjadi kekuatan sosial dan politik yang signifikan.
Sementara
di Jawa sendiri masuknya Islam juga sangat erat dengan kegiatan
perdagangan. Karena itu daerah-daerah yang terletak di sepanjang pesisir
utara Jawa mengalami proses Islamisasi terlebih dahulu daripada
daerah-daerah di pedalaman. Peninggalan-peninggalan bercorak Islam
kebanyakan ditemukan di daerah-daerah pesisir ataupun pusat pelabuhan
yang sibuk.
Namun
proses Islam sebagai sebuah kekuatan politik tidak lepas dari timbul
tenggelamnya Majapahit. Meskipun begitu, dengan mengecilnya Majapahit
sebagai sebuah kekuatan dan menguatnya kekuatan daerah-daerah yang
bercorak Islam bukan berarti Islam telah menjadi kekuatan sosial-politik
yang dominan di Jawa.
Setelah
runtuhnya Majapahit, masih terdapat beberapa daerah yang bercorak
Hindu-Budha. Bahkan daerah-daerah tersebut masih memiliki pengaruh yang
tidak kecil. Namun semakin banyaknya kerajaan-kerajaan yang bercorak
Islam membuat daerah-daerah tersebut terisolasi, dalam artian
pengaruhnya semakin lama semakin mengecil.
Seperti
yang telah disinggung diatas, persebaran agama Islam di Nusantara dapat
dianggap sebagai sebuah proses yang panjang, sporadis dan sangat
terkait dengan hegemoni dan kekuasaan yang mengelilingi persebaran Islam
itu sendiri. Karena itu, pembahasan pada bab selanjutnya akan dibagi
menjadi beberapa bagian pembahasan yang saling berkaitan antara satu
sama lain.
Yang
pertama akan dibahas adalah teori-teori dan hipotesis-hipotesis
mengenai masuknya Islam ke Nusantara. Hal ini penting sebagai landasan
pemahaman dalam mempelajari proses masuknya Islam. Beragamnya
teori-teori dan hipotesis-hipotesis yang telah dikemukakan akan membantu
untuk memahami proses yang terjadi secara menyeluruh. Yang kedua adalah
perdagangan dan interaksi antara pedagang dan pendatang asing dengan
penduduk lokal di Jawa dan Sumatera sebagai proses awal perkenalan dan
penerimaan terhadap agama Islam. Yang ketiga adalah Islam sebagai
kekuatan sosial dalam kehidupan masyarakat di Jawa dan Sumatera. Seperti
yang telah dijelaskan diatas, dianutnya Islam sebagai sebuah sistem
politik dan munculnya institusi-institusi politik yang bercorak Islam
merupakan hasil dari proses asimilasi dan akulturasi aspek-aspek dalam
agama Islam dengan aspek-aspek kemasyarakatan setempat. Termasuk
diantaranya aspek sosial-politik. Kemudian yang terakhir adalah
munculnya kerajaan-kerajaan Islam awal di Jawa dan Sumatera sebagai
penjelasan mengenai hubungan antara institusi-institusi politik dan
dianutnya tatanan sosial masyarakat yang bercorak Islam dengan proses
penyebaran Islam itu sendiri.
Peranan Pedagang Asing dalam Penyebaran Islam dan Interaksinya dengan Penduduk Lokal.Menurut laporan Tome Pires dalam Suma Oriental
yang ditulis pada abad ke-16, di daerah pesisir barat Sumatera telah
banyak berdiri kerajaan Islam dengan lingkup pengaruh dan kekuatan yang
beraneka ragam. Jika dirunut kebelakang, hubungan perdagangan antara
Sriwijaya dengan pedagang-pedagang dari Arab dan Timur Tengah di Selat
Malaka telah terjadi semenjak abad ke-7 dan ke-8. Selain itu, hubungan
dagang dengan dinasti T’ang di Cina juga telah terjalin dengan baik.
Pada zaman dinasti T’ang sendiri Cina telah mempunyai hubungan dagang
dengan dinasti Bani Umayyah di Timur Tengah. Menurut berita Cina, pada
abad-abad tersebut di Kanfu (Kanton) dan beberapa daerah di Asia
Tenggara pada masa itu telah terdapat pemukiman-pemukiman muslim.
Perkawinan antara pedagang-pedagang muslim dengan penduduk setempat pun
diperkirakan telah menjadi hal yang umum. Sedangkan D. G. E. Hall
berpendapat bahwa hubungan dagang antara Cina dengan dunia Arab telah
terjalin bahkan jauh sebelum periode Nabi Muhammad SAW.
Menurut
berita Cina yang sama, selain di Kanfu (Kanton) disebutkan pula
pemukiman-pemukiman muslim telah bermunculan di sepanjang pesisir
Sumatera yang dilalui oleh jalur perdagangan. Ketika Sriwijaya meluaskan
daerahnya hingga ke Kedah, pemukiman-pemukiman muslim juga bermunculan
disana. Terutama ketika petani-petani muslim dari Cina Selatan yang
dipersekusi oleh Kaisar Hi-Tsung kemudian meminta suaka kepada Sriwijaya
setelah usaha pemberontakan yang gagal. Pemerintah Sriwijaya
menempatkan mereka secara tersebar di Kedah dan Palembang.
Pada
abad ke 9 atau 10 terjadi eksodus koloni Arab Alawiyun ke arah timur
untuk menghindari pergolakan politik pada masa transisi kekuasaan dari
dinasti Abbasiyah. Daerah yang menjadi tempat tujuan mereka adalah
Perlak, yang pada masa itu telah menjadi tempat transit yang ramai bagi
kegiatan perniagaan. Kaum pendatang ini selain mencari suaka, mereka
juga melakukan kegiatan dagang dan penyebaran agama. Pada
perkembangannya terjadi amalgamasi antara golongan pendatang ini dengan
penduduk lokal, yang pada akhirnya melakukan proses konsolidasi politik
terhadap penduduk lokal dan menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan
Perlak yang bercorak Islam dengan raja pertamanya Sultan Aliuddin Abdul
Azis Syah.
Meskipun
pada abad-abad tersebut telah terjadi proses Islamisasi di daerah
pesisir Sumatera, laporan Marco Polo yang singgah di Aceh Utara pada
1292 menyatakan bahwa di daerah yang disinggahinya tersebut masih
terdapat banyak penduduk yang belum memeluk agama Islam, meskipun di
sisi lain terjadi proses Islamisasi yang secara intensif dilakukan oleh
pedagang-pedagang asing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses
Islamisasi yang terjadi masih belum lama dilakukan.
Mundurnya
kondisi sosial-politik Sriwijaya pada abad ke-13 membuka peluang besar
kepada para penguasa di daerah untuk melepaskan diri dari pengaruh
pemerintah pusat. Jabatan-jabatan tinggi di daerah mayoritas dipegang
oleh para pedagang yang sekaligus juga sebagai pemilik modal. Sedangkan
para pedagang dan pemilik modal ini kebanyakan telah berpindah ke agama
Islam. Dipegangnya posisi-posisi strategis di daerah oleh orang-orang
muslim pada akhirnya semakin memudahkan proses penyebaran agama Islam.
Pola yang serupa juga terjadi di Jawa pada akhir masa kekuasaan
Majapahit, meskipun proses Islamisasi di Jawa diperkirakan telah terjadi
jauh sebelum itu.
Batu-batu
nisan yang ditemukan di Trowulan dan Troloyo dipastikan merupakan makam
muslim, meskipun masih bercorak Hindu-Budha. Hal ini menandakan masih
kuatnya pengaruh Hindu-Budha. Termasuk makam seorang wanita bernama
Maimun yang berangka tahun 475 H/1082 M. Namun M. C. Ricklefs (2001:28)
menyangsikan bahwa almarhum yang dikebumikan ini berasal dari masyarakat
pribumi. Maka bukti ini masih belum dapat membuktikan bahwa Islam telah
menjadi sebuah kekuatan di Jawa.
Daftar Pustaka:
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Mukarrom, Ahwan. Sejarah Islamisasi Nusantara.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking