Maandag 15 April 2013

Sejarah Pra Aksara dan Aksara di Indonesia

Sejarah Dalam Masyarakat Pra Aksara dan Masa Aksara

Sejarah Dalam Masyarakat


Majalah Indonesia - Pusat Backlink Indonesia Free.
Tradisi Sejarah Dalam Masyarakat Pra Aksara dan Masa Aksara
Salah satu fungsi sejarah adalah untuk memberikan identitas pada masyarakatnya. Kisah sejarah di anggap perlu untuk menunjukkan jati diri, untuk membedakan dengan masyarakat lain. Kisah sejarah juga di anggap perlu sebagai pengalaman kolektif bersama di masa lampau, bahkan sering kali garis keturunan yang sama sehingga dapat mempererat rasa solidaritas diantara anggota masyarakat secara turun-temurun.

Oleh karena itu, suatu kisah masyarakat dapat menjelaskan keberadaan suatu kolektif baik pada masyarakat sebelum maupun sesudah mengenal tulisan. Tradisi sejarah terbagi dalam 2 masa, yaitu Masa Praaksara dan Masa Aksara. Kehidupan masyarakat manusia sebelum mengenal tulisan disebut dengan kehidupan masyarakat Indonesia zaman prasejarah. Manusia yang hidup pada zaman prasejarah belum mengenal tulisan. Akibatnya, generasi selanjutnya serta para peneliti tidak mungkin menemukan adanya bukti-bukti tertulis mengenai kehidupan mereka. Para ahli, misalnya mencoba mengamati secara seksama benda-benda itu dengan cara merekontruksinya.

Namun, bukan berarti para ahli tidak memberi sumbangan apa-apa. Bagaimanapun juga mereka telah berusaha agar hasil penelitian mereka bisa sedekat mungkin menggambarkan kehidupan manusia pada masa itu. Dan memang, benda-benda itu yang merupakan satu-satunya bukti yang bisa diteliti. Secara khusus dalam kehidupan bersama sebagai bangsa, ada dua aspek utama dari peninggalan masa lalu yang tidak boleh dilupakan. Pertama, peninggalan masa lalu yang bersifat material yaitu segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Kedua, peninggalan masa lalu yang bersifat nonmaterial yaitu terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur, misalnya pandangan falsafah hidup, cita-cita, etos, nilai, norma dan lain-lain. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan.

Benda-benda material yang diciptakan merupakan cerminan atau pantulan konkret dari pandangan, etos atau cita-cita hidup suatu bangsa. Dengan kata lain, apa yang dihasilkan merupakan wujud dari apa yang dipikirkan. Setiap bangsa mempunyai cara sendiri-sendiri untuk membuat dua aspek kebudayaan ini tidak dilupakan. Istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi disebut sosialisasi.
Perkembangan teknologi cetak, computer dan komunikasi dewasa ini memungkinkan untuk mengarsip peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk bisa diolah kembali oleh generasi yang akan dating. Dengan demikian, yang diwariskan tidak hanya benda-benda material, tetapi juga benda-benda nonmaterial. Namun, perkembangan ini tidak terjadi pada masyarakat sebelum mengenal tulisan. Kebudayaan mereka hanya diwariskan secara lisan dan melalui benda-benda kebudayaan. Ada beberapa cara untuk mewariskan masa lalu pada masyarakat ini diantaranya:
1. Melalui Keluarga
2. Melalui Masyarakat

a. Melalui Keluarga

Keluarga merupakan dunia social yang pertama sekaligus yang paling berkesinambungan bagi seseorang. Pewarisan oleh keluarga dilakukan bertahap, mulai dari yang sederhana dan mudah dipahami menuju ke sesuatu yang kompleks atau rumit. Yang diwariskan adalah kebudayaan material dan kebudayaan nonmaterial. Namun yang sering menjadi pokok perhatian keluarga adalah kebudayaan nonmaterial seperti pengetahuan dan kepercayaan, nilai, norma, bahasa dan cerita dongeng.

Nilai mengacu pada gagasan abstrak mengenai apa yang dianggap masyarakat baik, benar dan diinginkan. Norma adalah perwujudan konkret dari nilai-nilai. Ada dua cara bersosialisasi dalam keluarga pada masyarakat sebelum mengenal tulisan, yaitu:
- Adat-istiadat setiap keluarga memiliki adat-istiadat atau kebiasaan. Tradisi dan kebiasaan tersebut diwariskan kepada seorang anak melalui sosialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Cerita dongeng cerita dongeng juga salah satu cara untuk mewariskan masa lalu. Pada cerita dongeng disisipkan pesan-pesan mengenai sesuatu yang dipandang baik untuk dilakukan maupun mengenai sesuatu dipandang tidak baik dan tidak boleh dilakukan.

b. Melalui Masyarakat

Masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya, wilayah, identitas dan berinteraksi dalam suatu hubungan social yang terstruktur. Hal ini disebabkan karena tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa orang lain. Masing-masing masyarakat memiliki adat-istiadat yang berbeda satu sama lain. Penyimpangan akan membuat seseorang disisihkan dari lingkungan masyarakat. Sementara itu, masyarakat tidak pernah lepas dari masa lalunya.

Unsur-unsur Peradaban Masyarakat Indonesia

Berdasarkan penelitian seorang sarjana Perancis yang bernama Coedes dalam bidang peradaban masyarakat Indonesia sebelum pengaruh Hindu-Buddha terdapat 10 unsur peradaban yang dimiliki di antaranya:
1. Memelihara ternak (sapi, unggas, dan lain-lain)
2. Mengenal keterampilan teknik undagi (perundagian)
3. Mengenal pengetahuan pelayaran di samudera luas
4. Sistem kekerabatan matrilineal
5. Kepercayaan animisme, dinamisme, dan pemujaan roh leluhur
6. Mengenal organisasi pembagian air untuk pertanian (irigasi)
7. Kepandaian membuat barang-barang dari tanah liat seperti gerabah atau tembikar
8. Kepercayaan kepada penguasa gunung
9. Cara pemakaman pada dolmen atau kubur batu
10. Mitologi pertentangan antara dua unsur kosmo

Sedangkan sarjana purbakala Dr. Brandes menyatakan bahwa menjelang masuknya pengaruh
Hindu-Budha atau menjelang kehidupan masyarakat Indonesia mengenal tulisan, telah
memiliki 10 unsur pokok kebudayaan asli Indonesia, yaitu :
1. Bercocok tanam padi( bersawah)
2. Mengenal prinsip dasar permainan wayang, dengan maksud untuk mendatangkan
roh nenek moyang.
3. Mengenal seni gamelan yang terbuat dari perunggu
4. Pandai membatik (tulisan hias)
5. Pola susunan masyarakat macapat, susunan suatu ibukota selalu terdapat tanah
lapang atau alun-alun yang dikelilingi oleh istana (keraton), bangunan tempat
pemujaan atau upacara agama. Sebuah pasar dan sebuah rumah penjara
6. Telah mengenal alat tukar dalam perdagangan
7. Membuat barang-barang dari logam, terutama perunggu
8. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam pelayaran (sebagai bangsa bahari)
9. Mengenal pengetahuan astronomi
10.Susunan masyarakat yang teratur
Jadi, berdasarkan sisa-sisa peninggalan yang ditemukan maka dapat diungkapkan bahwa
kehidupan masyarakat nenek moyang Indonesia pada zaman sebelum masuknya pengaruh
Hindu-Budha telah memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi.

Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum Mengenal Tulisan
Beberapa unsur-unsur kebudayaan masyarakat Indonesia sebelum mengenal tulisan atau
sebelum pengaruh Hindu-Budha, antara lain :

a. Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan dalam masyarakat Indonesia diperkirakan mulai tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Hal ini dibuktikan dengan penemuan lukisan-lukisan pada dinding-dinding goa di Sulawesi Selatan. Lukisan itu berbentuk cap tangan merah dengan jari-jari yang direntangkan. Lukisan itu diartikan sebagai sumber kekuatan atau symbol jari tidak lengkap yang merupakan tanda berkabung dan
penghormatan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan terhadap roh nenek moyang ini terus berkembang pada masa bercocok tanam hingga masa perundagian. Hal ini tampak dari makin kompleksnya bentuk upacara-upacara penghormatan, sesaji, dan penguburan.selain penghormatan terhadap roh nenek moyang, ada juga kepercayaan
terhadap kekuatan alam,.Adanya kepercayaan semacam ini antara lain terungkap dengan adanya bangunan megalithikum yang dianggap memiliki kekuatan, misalnya sarkofagus. Corak kepercayaan seperti ini dinamakan dinamisme. Corak kepercayaan ini mengakibatkan adanya kepercayaan yang bercorak animisme, yang dianggap
unsur-unsur utama alam menyerupai roh.

b. Sistem Kemasyarakatan
Ketika manusia hidup bercocok tanam dan jumlahnya bertambah besar, system kemasyarakatan mulai tumbuh. Gotong royong dirasakan sebagai kewajiban yang mendasar dalam menjalani kegiatan hidup, seperti menebang hutan, menangkap ikan, menebar benih, dan lain-lain. Demi menjaga hidup bersama yang harmonis, manusia menyadari perlunya aturan-aturan yang perlu disepakati bersama. Agar aturan ini ditaati, ditentukan seorang pemimpin yang bertugas menjamin terlaksananya kepentingan bersama. Sistem kemasyarakatan terus berkembang khususnya pada masa perundagian. Pada masa ini sistem kemasyarakatan menjadi lebih kompleks. Masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan bidang keahliannya. Uniknya tugas yang ditangani membuat masing-masing kelompok memiliki aturan sendiri. Meskipun demikian, tetap ada aturan umum yang menjamin keharmonisan hubungan masing-masing kelompok.


c. Pertanian
Sistem persawahan mulai dikenal bangsa Indonesia sejak zaman neoltikum, yakni sejak manusia menetap secara permanen. Perkiraan ini sangat logis mengingat proses bersawah yang cukup lama mengharuskan manusia menetap di suatu tempat dengan waktu relatif lama. Kehidupan gotong royong teraktualisasikan dalam system persawahan ini. Semangat gotong royong dalam sistem persawahan terlihat dalam tata pengaturan air dan tanggul. Pada masa perundagian, kemampuan bersawah semakin berkembang mengingat sudah adanya spesialisasi pekerjaan dalam masyarakat.

d. Kemampuan Berlayar
Kemampuan berlayar sudah dialami cukup lama oleh bangsa Indonesia. Kemamapuan berlayar ini terus berkembang di tanah yang baru, mengingat kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau. Kemampuan berlayar ini selanjutnya menjadi dasar dari kemampuan berdagang, itulah sebabnya, sejak awal masehi, bangsa Indonesia sudah mulai berkiprah dalam jalur pelayaran perdagangan internasional.

e. Ilmu Pengetahuan
Sebelum pengaruh Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga mengenal ilmu astronomi (ilmu perbintangan) sebagai petunjuk arah dalam pelayaran atau sebagai petunjuk waktu dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, mereka telah dapat mengetahui secara teratur waktu bercocok tanam, panen, atau saat yang tepat untuk berlayar dan menangkap ikan.

f. Organisasi Sosial
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa kelompok masyarakatnya. Hubungan masyarakat dalam suatu kelompok sukunya sangat erat. Pola kerjasama dalam hidup bergotong royong dalam suatu kelompok suku sudah terjalin dengan baik.

g. Teknologi
Sejak masa prasejarah, masyarakat Indonesia telah mengenal teknik pengecoran logam. Masyarakat juga telah mengenal teknik pembuatan perahu bercadik. Pembuatan perahu bercadik ini sesuai dengan kondisi alam Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh lautan. Perahu bercadik itu dapat digunakan sebagai sarana transportasi dan sarana dalam perdagangan.

h. Sistem Ekonomi
Masyarakat pada setiap daerah tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Untuk itu, mereka menjadi hubungan perdagangan dengan daerah-daerah lainnya. Hubungan perdagangan yang mereka kenal pada saat itu adalah sistem barter, yaitu pertukaran barang dengan barang.

i. Kesenian
Masyarakat prasejarah telah mengenal kesenian sebagai hiburan untuk mengisi waktu senggang. Waktu senggang itulah yang mereka pergunakan untuk mewujudkan dan menyalurkan jiwa seni mereka seperti seni membuat batik, seni membuat gamelan, seni wayang dan lain-lain. Namun, seni wayang biasanya dipertunjukan setelah panen
dengan lakon cerita tentang kehidupan alam sekitar mereka.

A. Masa Pra Aksara

Pada masyarakat yang belum mengenal tulisan (illiterate), pewarisan ingatan tentang peristiwa masa lampau dilakukan melalui tradisi lisan dari generasi ke generasi. Setiap generasi biasanya, selain mewarisi ingatan masa lampau dari generasi sebelumnya, juga mewariskan pengetahuan tersebut kepada generasi berikutnya. Tradisi lisan dapat dianggap sebagai sebuah kesaksian sejarah yang sangat berguna bagi penulisan sejarah. Sering kali sebuah tradisi lisan mengisahkan pengalaman masa lampau jauh ke belakang di mulai sejak adanya manusia pertama sampai terciptanya suatu kolektif yang di kenal sebagai masyarakat ataupun suku bangsa. Tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Tradisi lisan juga mengandung kejadian nilai-nilai, moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayal, peribahasa, nyanyian, mantra dan sebagainya.

Karya dalam tradisi lisan biasanya dikenal sebagai bagian folklor. Pengungkapan tradisi lisan sering kali digunakan secara lugas dalam bentuk pepatah, tembang, mitos, legenda, dongeng dan diwariskan sebagai milik bersama serta sebagai simbol identitas bersama.Tradisi lisan dalam bentuk mitos, legenda atau dongeng melukiskan kondisi fakta mental (mentifact) dari masyarakat pendukungnya. Tradisi lisan sebagai ingatan kolektif sering kali disalin dalam bentuk tulisan. Selanjutnya kalian dapat memahami tradisi masyarakat sebelum mengenal tulisan (pra aksara) hingga mengenal aksara (masa aksara) melalui tulisan berikut ini yang dimulai dari Folklore.

Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara 

19 December 2012 - dalam Umum Oleh azro_el-fib11

Islam sebagai agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam perjalanan sejarah Indonesia, bahkan sekarang masih berada dalam posisi yang dominan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Masuk dan dianutnya agama Islam secara luas oleh masyarakat di Nusantara tidak dapat dipahami sebagai sebuah proses yang sederhana dan instan. Terdapat berbagai macam teori-teori maupun hipotesis-hipotesis yang mencoba untuk menjelaskan kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang melakukan usaha-usaha penyebaran Islam itu sendiri. Sehingga untuk dapat memahaminya harus dilakukan dengan melihat dari berbagai macam sudut pandang.
Makalah ini membahas mengenai masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatera. Tanpa mengecilkan signifikansi dari proses Islamisasi di daerah lain di Indonesia, proses Islamisasi di Jawa dan Sumatera mempunyai andil yang besar dalam perkembangan proses Islamisasi selanjutnya. Daerah-daerah di kedua pulau tersebut adalah daerah-daerah yang secara teoretis mempunyai kemungkinan besar mengalami proses Islamisasi lebih dahulu dari daerah-daerah lain di Nusantara.
Sumatera mempunyai posisi yang strategis sebagai pintu masuk kegiatan perdagangan di Nusantara. Sejak masa Sriwijaya Selat Malaka telah menjadi pelabuhan tempat singgah pedagang-pedagang asing dari berbagai negara. Interaksi yang intens dengan pengaruh-pengaruh asing adalah cara yang sangat cepat bagi unsur-unsur asing untuk dapat diserap oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini perdagangan di Selat Malaka dan sekitar Sumatera merupakan salah satu jalan masuk Islam ke Nusantara.
Kemunculan kerajaan-kerajaan awal yang bercorak Islam di Sumatera menjadi bukti bahwa beberapa daerah di Sumatera telah mengalami proses Islamisasi lebih dahulu daripada daerah-daerah lain di Indonesia. Karena dengan berdirinya sebuah institusi politik yang bercorak Islam menandakan bahwa pengaruh Islam telah mengakar dalam segala aspek kehidupan masyarakat disekitarnya.
Berita-berita Cina yang ditulis oleh Chou Ku Fei pada tahun 1178 menyiratkan bahwa baik pada masa ketika Sriwijaya mendominasi perdagangan di Sumatera ataupun ketika pengaruh-pengaruhnya mulai melemah, pulau Jawa tetap menjadi pusat perdagangan dan politik yang mempunyai signifikansi yang sama dengan Sumatera. Lebih-lebih ketika Singasari melakukan ekspansi wilayah dan politiknya ke Sumatera, sehingga dominasi perdagangan di Sumatera tidak lagi dimiliki secara absolut oleh Sriwijaya.
Melemahnya pengaruh Sriwijaya berpengaruh besar pada perubahan yang terjadi di daerah-daerah yang secara letak jauh dari pengawasan pemerintah, terutama pada daerah-daerah di pesisir utara dan timur Sumatera, dimana Islam mulai tumbuh menjadi kekuatan sosial dan politik yang signifikan.
Sementara di Jawa sendiri masuknya Islam juga sangat erat dengan kegiatan perdagangan. Karena itu daerah-daerah yang terletak di sepanjang pesisir utara Jawa mengalami proses Islamisasi terlebih dahulu daripada daerah-daerah di pedalaman. Peninggalan-peninggalan bercorak Islam kebanyakan ditemukan di daerah-daerah pesisir ataupun pusat pelabuhan yang sibuk.
Namun proses Islam sebagai sebuah kekuatan politik tidak lepas dari timbul tenggelamnya Majapahit. Meskipun begitu, dengan mengecilnya Majapahit sebagai sebuah kekuatan dan menguatnya kekuatan daerah-daerah yang bercorak Islam bukan berarti Islam telah menjadi kekuatan sosial-politik yang dominan di Jawa.
Setelah runtuhnya Majapahit, masih terdapat beberapa daerah yang bercorak Hindu-Budha. Bahkan daerah-daerah tersebut masih memiliki pengaruh yang tidak kecil. Namun semakin banyaknya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam membuat daerah-daerah tersebut terisolasi, dalam artian pengaruhnya semakin lama semakin mengecil.
Seperti yang telah disinggung diatas, persebaran agama Islam di Nusantara dapat dianggap sebagai sebuah proses yang panjang, sporadis dan sangat terkait dengan hegemoni dan kekuasaan yang mengelilingi persebaran Islam itu sendiri. Karena itu, pembahasan pada bab selanjutnya akan dibagi menjadi beberapa bagian pembahasan yang saling berkaitan antara satu sama lain.
Yang pertama akan dibahas adalah teori-teori dan hipotesis-hipotesis mengenai masuknya Islam ke Nusantara. Hal ini penting sebagai landasan pemahaman dalam mempelajari proses masuknya Islam. Beragamnya teori-teori dan hipotesis-hipotesis yang telah dikemukakan akan membantu untuk memahami proses yang terjadi secara menyeluruh. Yang kedua adalah perdagangan dan interaksi antara pedagang dan pendatang asing dengan penduduk lokal di Jawa dan Sumatera sebagai proses awal perkenalan dan penerimaan terhadap agama Islam. Yang ketiga adalah Islam sebagai kekuatan sosial dalam kehidupan masyarakat di Jawa dan Sumatera. Seperti yang telah dijelaskan diatas, dianutnya Islam sebagai sebuah sistem politik dan munculnya institusi-institusi politik yang bercorak Islam merupakan hasil dari proses asimilasi dan akulturasi aspek-aspek dalam agama Islam dengan aspek-aspek kemasyarakatan setempat. Termasuk diantaranya aspek sosial-politik. Kemudian yang terakhir adalah munculnya kerajaan-kerajaan Islam awal di Jawa dan Sumatera sebagai penjelasan mengenai hubungan antara institusi-institusi politik dan dianutnya tatanan sosial masyarakat yang bercorak Islam dengan proses penyebaran Islam itu sendiri.
  Peranan Pedagang Asing dalam Penyebaran Islam dan Interaksinya dengan Penduduk Lokal.Menurut laporan Tome Pires dalam Suma Oriental yang ditulis pada abad ke-16, di daerah pesisir barat Sumatera telah banyak berdiri kerajaan Islam dengan lingkup pengaruh dan kekuatan yang beraneka ragam. Jika dirunut kebelakang, hubungan perdagangan antara Sriwijaya dengan pedagang-pedagang dari Arab dan Timur Tengah di Selat Malaka telah terjadi semenjak abad ke-7 dan ke-8. Selain itu, hubungan dagang dengan dinasti T’ang di Cina juga telah terjalin dengan baik. Pada zaman dinasti T’ang sendiri Cina telah mempunyai hubungan dagang dengan dinasti Bani Umayyah di Timur Tengah. Menurut berita Cina, pada abad-abad tersebut di Kanfu (Kanton) dan beberapa daerah di Asia Tenggara pada masa itu telah terdapat pemukiman-pemukiman muslim. Perkawinan antara pedagang-pedagang muslim dengan penduduk setempat pun diperkirakan telah menjadi hal yang umum. Sedangkan D. G. E. Hall berpendapat bahwa hubungan dagang antara Cina dengan dunia Arab telah terjalin bahkan jauh sebelum periode Nabi Muhammad SAW.
Menurut berita Cina yang sama, selain di Kanfu (Kanton) disebutkan pula pemukiman-pemukiman muslim telah bermunculan di sepanjang pesisir Sumatera yang dilalui oleh jalur perdagangan. Ketika Sriwijaya meluaskan daerahnya hingga ke Kedah, pemukiman-pemukiman muslim juga bermunculan disana. Terutama ketika petani-petani muslim dari Cina Selatan yang dipersekusi oleh Kaisar Hi-Tsung kemudian meminta suaka kepada Sriwijaya setelah usaha pemberontakan yang gagal. Pemerintah Sriwijaya menempatkan mereka secara tersebar di Kedah dan Palembang.
Pada abad ke 9 atau 10 terjadi eksodus koloni Arab Alawiyun ke arah timur untuk menghindari pergolakan politik pada masa transisi kekuasaan dari dinasti Abbasiyah. Daerah yang menjadi tempat tujuan mereka adalah Perlak, yang pada masa itu telah menjadi tempat transit yang ramai bagi kegiatan perniagaan. Kaum pendatang ini selain mencari suaka, mereka juga melakukan kegiatan dagang dan penyebaran agama. Pada perkembangannya terjadi amalgamasi antara golongan pendatang ini dengan penduduk lokal, yang pada akhirnya melakukan proses konsolidasi politik terhadap penduduk lokal dan menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Perlak yang bercorak Islam dengan raja pertamanya Sultan Aliuddin Abdul Azis Syah.
Meskipun pada abad-abad tersebut telah terjadi proses Islamisasi di daerah pesisir Sumatera, laporan Marco Polo yang singgah di Aceh Utara pada 1292 menyatakan bahwa di daerah yang disinggahinya tersebut masih terdapat banyak penduduk yang belum memeluk agama Islam, meskipun di sisi lain terjadi proses Islamisasi yang secara intensif dilakukan oleh pedagang-pedagang asing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi yang terjadi masih belum lama dilakukan.
Mundurnya kondisi sosial-politik Sriwijaya pada abad ke-13 membuka peluang besar kepada para penguasa di daerah untuk melepaskan diri dari pengaruh pemerintah pusat. Jabatan-jabatan tinggi di daerah mayoritas dipegang oleh para pedagang yang sekaligus juga sebagai pemilik modal. Sedangkan para pedagang dan pemilik modal ini kebanyakan telah berpindah ke agama Islam. Dipegangnya posisi-posisi strategis di daerah oleh orang-orang muslim pada akhirnya semakin memudahkan proses penyebaran agama Islam. Pola yang serupa juga terjadi di Jawa pada akhir masa kekuasaan Majapahit, meskipun proses Islamisasi di Jawa diperkirakan telah terjadi jauh sebelum itu.
Batu-batu nisan yang ditemukan di Trowulan dan Troloyo dipastikan merupakan makam muslim, meskipun masih bercorak Hindu-Budha. Hal ini menandakan masih kuatnya pengaruh Hindu-Budha. Termasuk makam seorang wanita bernama Maimun yang berangka tahun 475 H/1082 M. Namun M. C. Ricklefs (2001:28) menyangsikan bahwa almarhum yang dikebumikan ini berasal dari masyarakat pribumi. Maka bukti ini masih belum dapat membuktikan bahwa Islam telah menjadi sebuah kekuatan di Jawa.

Daftar Pustaka:
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Mukarrom, Ahwan. Sejarah Islamisasi Nusantara.